Alkisah, ketika Amr bin Ash menduduki kursi Gubernur, ia membangun sebuah mimbar yang mewah dan tinggi. Mimbar ini dibuat khusus untuknya. Seorang sahabat melaporkan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khattab. Mendengar laporan ini, Khalifah Umar Al Faruq sontak marah dan mengirim surat kepada Gubernur Amru bin Ash. Adapun redaksi suratnya "Aku mendengar kamu telah membangun satu mimbar yang meninggikan dirimu dari umat Islam, adakah tidak cukup kamu berdiri dan mereka berada di kakimu, aku ingin kamu segera meruntuhkan mimbarmu. Dalam kisah lain, Saad juga dilaporkan membangun pagar di sekitar rumahnya (di ketika itu amat jarang rumah mempunyai pagar kecuali orang yang kaya), sehingga orang ramai memberi gelar ‘Istana Saad.’ Alasan sahabat Saad membangun pagar yang tinggi agar rumahnya yang berdempetan dengan pasar, tidak bising, minimal dapat menghalang sedikit kebisingan. Ketika berita ini sampai kepada Umar al-Khattab, beliau melihat mudharat pagar itu lebih besar, daripada manfaatnya, lalu dengan segera menyuruh Muhammad bin Maslamah untuk membakar pagar tersebut. Kisah di atas menceritakan komitmen para sahabat dalam pemberantasan korupsi, yakni bertindak sebagai whistle blower (peniup peluit), pelapor kasus korupsi para pejabat publik di era khalifah Umar bin Khattab. Para sahabat pelapor tersebut tidak gentar dan takut dalam membongkar perilaku koruptif dengan lisan, karena mereka tidak memiliki otoritas dan kekuasaan politik. Mereka mengejawantahkan hadis Nabi Saw: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim) Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan kontrol, check and balance, , dan berperan aktif menegakkan hukum demi terciptanya keadilan, ketertiban dan kesejahteraan melalui mekanisme Amar Makruf Nahi Munkar. Adapun bentuk implementasinya dapat melalu konsep whistle blowing, yakni dengan menjadi whistble blower (pengungkap kejahatan/kemunkaran) sebagai upaya pencegahan kejahatan non-penal dan juga sebagai upaya preventif. Islam secara tegas menjamin eksistensi seorang whistle blower yang tercermin dalam konsep Maqashid Syariah sebagaimana tesis Abu Ishaq al-Syatibi, yang mencakup perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan demi kemaslahatan hidup manusia, baik ruhani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan yang tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Di negara ini, permasalahan korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi seringkali tertatih-tatih dan ‘kalah inovasi’ dibanding laju pertumbuhan taktik dan strategi para koruptor. Perkembangan modus tindak pidana kejahatan korupsi di negeri kita akhir-akhir ini menunjukkan skala yang meluas dan semakin canggih. Kenyataan ini juga mendorong upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari cara-cara konvensional. Di tengah-tengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, akhir-akhir ini sering terdengar istilah whistle blower sebagai salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Whistle blower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam lembaga/organisasi/perusahaan, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Dia adalah aktor yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Adalah hak setiap masyarakat berperan serta memberantas korupsi. Sebagai extra ordinary crime , partisipasi aktif masyarakat dan instrumen hukum yang kuat menjadi wasilah yang mahapenting dalam rangka memerangi korupsi yang telah menjelma menjadi sebuah kejahatan multidimensional, sistemik, konspiratif (dilakukan secara berjamaah) dan membudaya di hampir setiap lini kehidupan. Menurut PP No.71 Tahun 2000, whistle blower, adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistle blower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Pengaduan seorang whistle blower harus-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Setiap orang bisa dan harus melapor ke institusi negara yang berwenang seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan bila mempunyai data tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat membantu penegak hukum memberantas korupsi dilindungi undang-undang. Dalam Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan secara jelas, peran serta masyarakat bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Pertama, hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi ada dugaan terjadi korupsi. Kedua, hak memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi ada dugaan terjadi korupsi ke penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Ketiga, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab ke penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Keempat, hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan ke penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari. Kelima, hak memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam poin pertama, kedua, dan ketiga. Tujuan Pasal 41 itu sangat jelas, yakni agar masyarakat tak perlu takut melapor ke penegak hukum bila mempunyai data indikasi korupsi. Kenapa takut, bila hukum memerintah penegak hukum melindungi pelapor? Perlindungan di sini bukan sekadar perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus dan mendapat penghargaan. Bila pelapor berani menyebutkan identitas dan kelak dijadikan saksi di pengadilan, aparat keamanan wajib melindungi. Untuk melindungi para whistle blower, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Siapa saja yang benar-benar mengetahui adanya suatu permufakatan jahat, kemudian bila dia sungguh-sungguh memberikan laporan atau kesaksian kepada penegak hukum, maka orang itu wajib hukumnya untuk dilindungi. Masing-masing kita bisa menjadi whistle blower kapan saja dan di mana saja. Untuk anda yang ingin melaporkan indikasi tindak pidana pencucian uang, kejahatan narkoba, indikasi korupsi, perdagangan manusia dan kasus-kasus lain, tapi merasa sungkan atau takut identitasnya terungkap, karena kebetulan Anda kenal dengan pelaku, Anda bisa menggunakan fasilitas sistem whistle blowing ini. Sistem ini sudah mulai terapkan dan dicanrumkan di laman situs departemen, perusahaan BUMN, perbankan dan lain-lainnya. Mulailah dari diri Anda. Jangan sungkan, bimbang dan takut. Atau kita malah (patut diduga) berkomplot dengan para koruptor, sebagaimana sindir Rasulullah Saw. dalam hadisnya, ia bersabda: barangsiapa yang menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya (Sunan Abu Daud no. 2341). Sejatinya, koruptor menyekutukan Tuhan, menuhankan uang, harta, dan lain-lain. Korupsi itu lebih keji dari menginjak Kitab Suci. Menginjak Kitab Suci itu menghina wujud kitab suci. Tapi korupsi menghina esensi dari Kitab Suci. Dan seharusnya koruptor dikenai pasal berlapis. Pasal korupsi karena merugikan negara dan juga pasal penghinaan terhadap ajaran agama. Sadis! Faried Wijdan, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta